Kita sudah melewati rangkaian waktu dengan jarak yang tidak singkat. Melewati cakrawala sempit dan luas secara berkala. Melewati suka dan duka silih berganti dan kita tetap menjadi kita tanpa berusaha merubahnya walaupun sempat terpisah oleh keadaan.
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Apakah benar pengulangan tidak membuat keadaan sama seperti sedia kala? Jika benar adanya, kita adalah contoh nyatanya. Kamu sadar bukan? Aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Asing dalam keadaan yang tidak pernah aku bayangkan.
Bisa bertahankah kita? Jangan berpura-pura ini baik-baik saja sayang. Jangan membuat seolah kamu tidak merasa ada yang salah dengan kita. Aku hampir mati karena kehabisan cairan. Aku menangis setiap waktu untukmu. Apa ini yang kamu bilang kita baik-baik saja?
Kapal kita sedang oleng, sayang. Oleng stabil diterjang ombak laut yang beriak. Kita harus apa? Menepi? Kemana? Bahhkan mungkin kita tidak mempunyai tujuan lagi. Ombaknya sudah menghilangkan kompas kita. Tinggal bagaimana kita berusaha tidak mengkaramkan kapal ini agar kita tidak mati dalam badai ini.
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Sedetik saja aku tau kamu bahagia bersamaku, maka akan ku lanjutkan kisah ini. Tidak penting seberapa banyak tangisan yang terbuat karenanya aku akan tetap dalam jalur yang sama. Pertanyaannya adalah apakah kamu bahagia menjalani ini? Aku bahagia untukmu dan aku menginginkan kamu bahagia karenaku.
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Aku lelah. Aku lelah menghadapi kamu yang bukan seperti ku kenal, mengacuhkan tanpa ingin tau apakah aku sakit akan itu? Menenggelamkan semacam harapan untuk disambut meriah. Aku bahkan tidak pernah memintamu untuk tak kemana-mana, aku hanya memintamu untuk tinggal. Seharusnya seperti itu bukan? Jika ini terlalu sulit, mengapa kamu memilih untuk berdampingan denganku kemarin?
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Detik-detik bahagia terproklamasi di fikiranku, nyatanya dia memfosil dengan sempurna, hebat bukan ingatanku? Karena inilah kamu menjadi fikiran utama bagiku. Tapi aku? Kamu bilang aku yang ke sekian. Betapa rontoknya hatiku lebur pecah kemudian tak bersisa. Nyatanya aku tak pantas untuk menjadi pemeran pendamping dalam teater hidupmu.
Kamu yang kucinta mengenal dalam setiap sudut luka yang tercipta. Goresan-goresan penuh peluh secara hiperbola menghujam jantungku berkali-kali. Mendarat dengan senyuman sinis tebalikkan dari lengkungan bibirku. Kenapa masih saja sepi? Bukankah sudah kau meriahkan dengan rintihan-rintihan yang tercipta? Kenapa masih saja mendung, bukankah langit berubah menjadi merah? Rupanya kelabu masih enggan pergi dari hati ini, ia memilih tuk bersemayam disana. Mengikutimu yang kelabu tua tak berwarna. Masih berusaha menghujam jantungku demi meriahkan sepiku. Sebeginikah caramu tuk warnaiku? Memakai darahku sendiri tuk warnai hari-hari. Lebih menyedihkan dari yang ku pandangkan.
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Kamu adalah pencipta setiap bait bernada puitis yang ku tulis dengan penuh rasa. Menawarkan segelas cinta di setiap fajarku. Sedikit rupanya, namun aku dapat menyesapnya setiap hari dan tidak akan menemukan gelas kosong setiap harinya. Demi tuhan itu sungguh cukup bagiku. Tapi mengapa derasnya waktu mengubahmu meninggalkan gelas yang lupa kau isi di fajarku. Sehingga aku terkadang tidak dapat mengecap apa rasa cintamu hari itu, masih sama atau tidak. Sejumlah ragu menggelayut dalam benakku. Adakah kamu mulai tak ingin menyediakan cinta untukku? Kemana kata agung yang selalu kita sematkan dalam kata lambaian pengantar tidur itu? Kamu juga sudah melewatkan kebiasaan kita yang satu itu. Nampaknya waktu telah mengikis pondasi kisah ini. Mimpi buruk berawal.
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Aku sudah sangat lelah untuk melanjutkan perjalanan ini. Tapi ntah dari mana saja angin cinta mulai membelaiku tuk mengikuti hati. Mungkin saja aku dapat berdiri tegak dengan sisa-sisa pondasi dan keyakinanku, tapi rupanya tetap kamu ku butuhkan tuk menjadi penopangku. Bukankah kita seperti itu dulu? Saling mengayomi. Menunjukkan betapa kita dalam latar merah muda dengan bunga sakura bermekaran di sekelilingnya. Harusnya kita bertahan menjadi begitu dalam waktu yang akan datang. Tapi mengapa kamu lepaskan peganganmu sejenak? Aku oleng dan butuh asupan, sayang.
Teruntuk kamu yang aku cintai,
Aku bertahan, dengan sendiriku. Memilih untuk tetap dalam jalur utama. Menunggu kamu memimpin kembali. Menunggu kamu kembali. Aku sungguh merindukanmu. Akan kita ulang kertas warna warni yang telah kita rencanakan dulu. Akan kita bagi tugas tuk saling berdampingan lagi.
wahh dalam bange tulisannya.
ReplyDeleteIya, mungkin si penulis memang lg merasakannya :D
DeleteAkan lebih bagus kalau kamu nulis hal yang sama tapi versi kamu sendiri, Nur. Gak apa referensinya dari orang lain. Daripada copas tulisan orang :)
ReplyDeleteAku copas tapi tulis nama penulis aslinya. Hihii....
DeleteEntah kenapa suka aja sama tulisan ini, makanya aku copy :D
Iya, ka..
Nanti nulis kok, Insha Allah :D
Kirain tadi tulisan sendiri.
ReplyDeletegalau detected,, potonya mendukung lagi,, wkwkwkw.. aku juga ada poto kayak begitu
ReplyDeletenih ..
http://vmatmanegara.blogspot.com/2014/02/rintihan-manusia-sepi-merupakan.html
hahaha..